SOSOKNYA tinggi besar. Ia berkulit hitam karena memang ia perempuan keturunan Sudan. Ia hidup di periode awal dakwah terbuka yang harus dijalani dengan berbagai ancaman dan intimidasi
kaum Quraisy. Iman yang dipilihnya, membuat ia dan keluarganya diusir oleh kaum kerabat mereka. Sungguh bukan main-main pengorbanannya, menjalani hidup sebagai seorang Muslimah. Demi mempertahankan iman yang digenggamnya, perjalanan berat diarunginya ke negeri seberang samudera.
Di tengah perjuangan bertahan iman dan bertahan hidup di negeri yang sama sekali asing, terdengar kabar bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam secara massal. Sikap mereka terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pun telah melunak. Meluaplah kegembiraan didadanya.
Segera, bersama suami dan 12 orang anaknya, ia mengarungi kembali samudera demi pulang ke kampung halamannya. Padahal berita yang didengarnya tersebut tidaklah benar. Berita itu sengaja dihembuskan oleh kaum kafir agar orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) kembali pulang ke Makkah dan mereka dapat memaksa para muhajir tersebut pada kekafiran.
...Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa...
Di tengah perjalanan mengarungi samudera, suaminya, Sakran bin Amral Al-Anshari, menderita sakit keras. Dalam perjalanan itu pula, orang yang selama ini mengokohkan hatinya itu menjemput ajal. Sungguh, hancur hati perempuan berhati lembut tersebut. Bersamanya, 12 orang anak yang kini menjadi yatim. Kekhawatiran mengabut di benaknya. Entah apa yang akan diperbuatnya demi hari depan kedua belas anaknya tersebut. Padahal, ia tahu benar, keluarganya di Makkah telah mengusirnya dan kabar tentang melunaknya sikap kaum Quraisy pun belum tentu menjamin keluarganya akan kembali menerimanya. Usianya pun sudah tak muda lagi. Kini usianya menjelang 70 tahun.
Ternyata benar, kekhawatiran tersebut menjadi nyata. Kaum musyrik Quraisy menyambut saudara-saudara mereka yang kembali dari Habasyah tersebut dengan ancaman tekanan dan intimidasi yang tak berubah. Mereka memang hanya ingin memaksa para muhajir itu untuk kembali pada berhala. Namun, ia tak punya pilihan. Kembali pada ayahnya yang masih musyrik adalah satu-satunya jalan yang tak dapat dihindarkan. Tak sulit untuk dibayangkan, penderitaan dan tekanan yang dijalani olehnya ketika itu.
...Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja...
Akhiri Duka dengan Cinta Sejati
Perjuangan dan penderitaannya pun sampai di telinga manusia mulia, Rasulullah SAW. Betapa harunya, hati junjungan umat itu mendengar nestapa yang membelit dirinya. Hatinya yang agung pun bermaksud menyudahi derita perempuan tua tersebut. Turunlah sabdanya untuk segera menikahi perempuan tersebut. Khaulah binti Hakim lah yang menyampaikan maksud Rasulullah SAW padanya. Sungguh tak terkira kegembiraan yang menyelubungi hatinya. Segala penderitaan seakan menguap dan berganti dengan rasa syukur yang tak mampu tergambarkan.
Akhirnya, bersandinglah ia dengan Rasulullah SAW. Ia, janda dengan 12 orang anak, tidak berharta, berusia 70 tahun, berkulit hitam, dan sama sekali tidak cantik. Ya, perempuan itu adalah Saudah binti Zam’ah RA yang dinikahi Rasulullah SAW tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia menjadi istri pertama yang dinikahi Rasulullah setelah wafatnya Khadijah. Saudah pulalah yang dipilih oleh Rasulullah meski ketika itu, secara bersamaan, Abu Bakar menawarkan Rasulullah SAW untuk menikahi anak gadisnya, Aisyah RA.
Sungguh, banyak yang terbelalak keheranan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menikahi Saudah. Mengapa Rasulullah justru menikahi Saudah, perempuan yang jauh berbeda kondisinya dengan Khadijah RA dan memilihnya, justru di saat Abu Bakar menawarkan anak gadisnya? Saudah pun terkenal dengan fisiknya yang tak rupawan. Sementara Rasulullah adalah puncak keagungan dengan fisik yang menawan. Sebagaimana diriwayatkan dari Barra bin Azib, “Rasulullah adalah manusia yang paling rupawan dan baik akhlaknya. Tidak terlalu tinggi, tidak pula bertubuh pendek” (HR. Bukhari).
...Setiap laki-laki Mukmin harus memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan para janda, ibu dari anak-anak yatim dengan menikahi mereka...
Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa. Apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW dengan menikahi perempuan tua berkulit hitam, gemuk, dan tidak kaya tersebut memang hanya dapat dimengerti oleh dimensi iman. Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan dan kesejatian cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja.
Pernikahan inipun menjadi pesan sepanjang zaman bahwa setiap laki-laki Mukmin memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan perempuan-perempuan janda, ibu dari anak-anak yatim, atau perempuan-perempuan perawan yang terlanjur menua karena tak cantik dan tak kaya dengan menikahi mereka. Mengambil tanggung jawab sebagai seorang pelindung dan pengayom perempuan dan anak-anak agar mereka tetap tumbuh berkembang dalam kasih sayang aturan Ad-Diin ini.
Inilah yang diwasiatkan oleh pernikahan agung Rasulullah Muhammad SAW dengan Saudah binti Zam’ah. Perempuan yang juga mendapatkan kehormatan untuk menyusul kepergian Rasulullah SAW kembali ke pangkuan Robb-nya. Sejenak setelah Rasulullah SAW wafat.
Di tengah perjuangan bertahan iman dan bertahan hidup di negeri yang sama sekali asing, terdengar kabar bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam secara massal. Sikap mereka terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pun telah melunak. Meluaplah kegembiraan didadanya.
Segera, bersama suami dan 12 orang anaknya, ia mengarungi kembali samudera demi pulang ke kampung halamannya. Padahal berita yang didengarnya tersebut tidaklah benar. Berita itu sengaja dihembuskan oleh kaum kafir agar orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) kembali pulang ke Makkah dan mereka dapat memaksa para muhajir tersebut pada kekafiran.
...Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa...
Di tengah perjalanan mengarungi samudera, suaminya, Sakran bin Amral Al-Anshari, menderita sakit keras. Dalam perjalanan itu pula, orang yang selama ini mengokohkan hatinya itu menjemput ajal. Sungguh, hancur hati perempuan berhati lembut tersebut. Bersamanya, 12 orang anak yang kini menjadi yatim. Kekhawatiran mengabut di benaknya. Entah apa yang akan diperbuatnya demi hari depan kedua belas anaknya tersebut. Padahal, ia tahu benar, keluarganya di Makkah telah mengusirnya dan kabar tentang melunaknya sikap kaum Quraisy pun belum tentu menjamin keluarganya akan kembali menerimanya. Usianya pun sudah tak muda lagi. Kini usianya menjelang 70 tahun.
Ternyata benar, kekhawatiran tersebut menjadi nyata. Kaum musyrik Quraisy menyambut saudara-saudara mereka yang kembali dari Habasyah tersebut dengan ancaman tekanan dan intimidasi yang tak berubah. Mereka memang hanya ingin memaksa para muhajir itu untuk kembali pada berhala. Namun, ia tak punya pilihan. Kembali pada ayahnya yang masih musyrik adalah satu-satunya jalan yang tak dapat dihindarkan. Tak sulit untuk dibayangkan, penderitaan dan tekanan yang dijalani olehnya ketika itu.
...Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja...
Akhiri Duka dengan Cinta Sejati
Perjuangan dan penderitaannya pun sampai di telinga manusia mulia, Rasulullah SAW. Betapa harunya, hati junjungan umat itu mendengar nestapa yang membelit dirinya. Hatinya yang agung pun bermaksud menyudahi derita perempuan tua tersebut. Turunlah sabdanya untuk segera menikahi perempuan tersebut. Khaulah binti Hakim lah yang menyampaikan maksud Rasulullah SAW padanya. Sungguh tak terkira kegembiraan yang menyelubungi hatinya. Segala penderitaan seakan menguap dan berganti dengan rasa syukur yang tak mampu tergambarkan.
Akhirnya, bersandinglah ia dengan Rasulullah SAW. Ia, janda dengan 12 orang anak, tidak berharta, berusia 70 tahun, berkulit hitam, dan sama sekali tidak cantik. Ya, perempuan itu adalah Saudah binti Zam’ah RA yang dinikahi Rasulullah SAW tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia menjadi istri pertama yang dinikahi Rasulullah setelah wafatnya Khadijah. Saudah pulalah yang dipilih oleh Rasulullah meski ketika itu, secara bersamaan, Abu Bakar menawarkan Rasulullah SAW untuk menikahi anak gadisnya, Aisyah RA.
Sungguh, banyak yang terbelalak keheranan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menikahi Saudah. Mengapa Rasulullah justru menikahi Saudah, perempuan yang jauh berbeda kondisinya dengan Khadijah RA dan memilihnya, justru di saat Abu Bakar menawarkan anak gadisnya? Saudah pun terkenal dengan fisiknya yang tak rupawan. Sementara Rasulullah adalah puncak keagungan dengan fisik yang menawan. Sebagaimana diriwayatkan dari Barra bin Azib, “Rasulullah adalah manusia yang paling rupawan dan baik akhlaknya. Tidak terlalu tinggi, tidak pula bertubuh pendek” (HR. Bukhari).
...Setiap laki-laki Mukmin harus memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan para janda, ibu dari anak-anak yatim dengan menikahi mereka...
Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa. Apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW dengan menikahi perempuan tua berkulit hitam, gemuk, dan tidak kaya tersebut memang hanya dapat dimengerti oleh dimensi iman. Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan dan kesejatian cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja.
Pernikahan inipun menjadi pesan sepanjang zaman bahwa setiap laki-laki Mukmin memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan perempuan-perempuan janda, ibu dari anak-anak yatim, atau perempuan-perempuan perawan yang terlanjur menua karena tak cantik dan tak kaya dengan menikahi mereka. Mengambil tanggung jawab sebagai seorang pelindung dan pengayom perempuan dan anak-anak agar mereka tetap tumbuh berkembang dalam kasih sayang aturan Ad-Diin ini.
Inilah yang diwasiatkan oleh pernikahan agung Rasulullah Muhammad SAW dengan Saudah binti Zam’ah. Perempuan yang juga mendapatkan kehormatan untuk menyusul kepergian Rasulullah SAW kembali ke pangkuan Robb-nya. Sejenak setelah Rasulullah SAW wafat.
Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui hakekat Allah Subhanahu Wata’ala, yang beramal untuk-Nya, dan yang berusaha menuju kepada-Nya. Anggota badan hanya menj
adi pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja.
Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.
Hati Selalu Diserang
Ketahuilah, bahwa hati, pada tabiat fitrahnya, mau menerima petunjuk (kebenaran). Tapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya di mana hati juga akan cenderung tergoda kepadanya. Di sana, akan saling mengusir antara malaikat dan setan, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga pihak kedua tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembun yi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
“Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi”.
Yaitu yang jika disebut Allah Subhanahu Wata’ala ia sembunyi, tapi kalau lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Setan tidak akan tentram bersama dzikir.
Hati Ibarat Benteng
Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.
Jalan-jalan (pintu) masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir sesuatu yang tidak dicapai akal, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain.
Penjaga Pintu Hati
Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerus akan ini adalah dengan menutup pintu-pintu masuknya setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan-setan hanya bisa lewat, tidak bisa menetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya cukup dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan memenuhi hati dengan takwa.
Perumpamaan setan itu seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedangkan dia lapar, dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitupula hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir.
Hati Yang Kalah
Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia menjadikan dzikir itu hanya sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap di tengahnya.
Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian ini pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu di saat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, penghasilan/ gaji , urusan dunia, dan lain-lain.
Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.
Hati Selalu Diserang
Ketahuilah, bahwa hati, pada tabiat fitrahnya, mau menerima petunjuk (kebenaran). Tapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya di mana hati juga akan cenderung tergoda kepadanya. Di sana, akan saling mengusir antara malaikat dan setan, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga pihak kedua tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembun yi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
“Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi”.
Yaitu yang jika disebut Allah Subhanahu Wata’ala ia sembunyi, tapi kalau lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Setan tidak akan tentram bersama dzikir.
Hati Ibarat Benteng
Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.
Jalan-jalan (pintu) masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir sesuatu yang tidak dicapai akal, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain.
Penjaga Pintu Hati
Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerus akan ini adalah dengan menutup pintu-pintu masuknya setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan-setan hanya bisa lewat, tidak bisa menetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya cukup dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan memenuhi hati dengan takwa.
Perumpamaan setan itu seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedangkan dia lapar, dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitupula hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir.
Hati Yang Kalah
Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia menjadikan dzikir itu hanya sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap di tengahnya.
Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian ini pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu di saat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, penghasilan/ gaji , urusan dunia, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
akulah pemuja rahasia yang datang dari kampung arkam